Robben dan Sneijder jadi cerita tersendiri terkait sukses Inter Milan dan Bayern Munich lolos ke final Liga Champions dalam laga yang akan dilangsungkan di Santiago Bernabeu, Minggu (23/5/2010) lusa. Keduanya menjadi bintang di masing-masing kubu setelah terbuang dari Real Madrid.
Kedua pesepakbola asal Belanda itu sama-sama terdepak di penghujung musim 2008/2009, saat Madrid sibuk membangun 'Gugusan Galaksi' keduanya dengan di antaranya memboyong Cristiano Ronaldo, Karim Benzema dan Kaka. Selama dua musim, Robben tercatat bermain 50 kali buat Madrid sementara dalam periode yang sama Sneijder merumput 52 kali.
"Sebuah mimpi yang menjadi kenyataan buat kami berdua. Tak satupun dari kami pernah tampil di final Liga Champions, dan itu baru terwujud setelah kami meninggalkan Madrid. Tapi pada akhirnya ini semua adalah soal sepakbola dan soal kemenangan. Buat kami, semuanya lebih pada keinginan besar kami meraih titel ini," ungkap Robben mengomentari kembalinya dia dan Sneijder di situs resmi UEFA.
Mantan pemain Chelsea itu berulang kali menjadi penyelamat Die Rotten di babak knock out Liga Champions dengan gol-gol yang dia buat ke gawang Fiorentina, Manchester United dan Olympique Lyon. Sedangkan Sneijder juga punya peran krusial di skuad Jose Mourinho dengan lima assist dan tiga golnya.
"Ya, akan menyenangkan bisa kembali bermain di sana. Bertanding di final dan memenangi piala, itu akan hebat. Setelah pergi ke Inter dan tahu kalau final akan dilangsungkan di Bernabeu, adalah sebuah mimpi untuk bisa sampai di sini - meraih kemenangan dan mengangkat trofi. Tak ada yang tak mungkin," timpal Sneijder.
Bukan Robben dan Sneijder saja yang akan menjalani laga 'comeback' di Bernabeu. Di skuad Nerazzurri saat ini ada tiga pemain lain yang pernah terdaftar sebagai pemain Los Merengues, mereka adalah Walter Samuel, Samuel Eto'o dan Esteban Cambiasso.
Eto'o memperkuat Madrid saat dia masih berusia 16 tahun. Tiga tahun membela 'Si Putih', striker Kamerun itu tak kuasa menembus deretan pemain top Madrid yang membuat dia beberapa kali dipinjamkan ke klub lain, hingga akhirnya dibeli Mallorca dan jadi bintang di sana.
Kondisi tak jauh berbeda dialami Cambiasso, yang diboyong ke Bernabeu dalam usia 22 tahun. Dua musim di Madrid (2002-2004), dia cuma dapat kesempatan 42 kali bermain. Tahun 2004 Inter beruntung merekrutnya dan terus dipertahankan hingga kini.
Juga gagal mendapat kepercayaan jangka panjang dari Madrid adalah Samuel. Dibeli mahal dari AS Roma tahun 2004 (25 juta euro), dia dilego ke Inter semusim berselang dengan harga lebih murah sembilan juta euro. Bek Argentina itu dianggap tampil tak memuaskan.
"Saya tumbuh di stadion itu. Saya juga mengambil langkah sebagai pesepakbola profesional untuk kali pertama di sana. Saya harap itu bisa memberi kami keberuntungan," ujar Eto'o.
Arjen Robben sempat merasakan tangan dingin Jose Mourinho saat di Chelsea. Namun jika harus memilih winger Belanda ini lebih suka dilatih oleh Louis Van Gaal daripada Mourinho.
Robben sempat bekerjasama dengan Mourinho selama tiga tahun saat merumput di Chelsea. Namun pemain internasional Belanda ini mengaku bahwa dia merasa lelah dengan filosofi safety first yang diterapkan oleh Mourinho.
Winger Bayern ini mengungkapkan bahwa hal itu yang membedakan Mourinho dengan Van Gaal. Hal tersebut itu diungkapkan Robben menjelang laga final Liga Champions di Bernabeu, Sabtu (22/5/2010).
"Dia menempatkan tim pemenang, tak masalah jika dilakukan memainkan sepakbola yang baik atau tidak. Filosofi di Bayern adalah pelatih (Van Gaal) ingin memenangi pertandingan dengan memainkan sepakbola indah," kata Robben.
"Sebagai pemain Anda ingin bermain dan menikmati pertandingan, itu juga merupakan bagian yang penting," ungkap mantan pemain Chelsea dan Real Madrid seperti dilansir Sky Sport.
Masalah taktik yang berubah ubah tersebut yang membuat Robben meninggalkan Stamford Bridge dan pergi ke Santiago Bernabu. Namun Robben juga tetap memuji kemampuan melatih yang dimiliki oleh Mourinho.
"Saya telah bekerja dengannya tiga tahun di Chelsea. Itu adalah waktu yang sukses. Dia memiliki kepribadian yang besar dan sebagai pelatih tim top Anda memerlukan hal itu," kata pemain berusia 26 tahun ini.
"Dia tahu bagaimana bekerja dengan pemain besar dan menempatkan mereka bersama -sama dan bekerjasama. Dia pasti tahu apa yang dibicarakan dan juga sangat menghormati setiap pemain," pungkas Robben.
UEFA telah menetapkan wasit yang akan memimpin duel Inter Milan kontra Bayern Munich. Wasit asal Inggris Howard Webb jadi 'Sang Pengadil' di final Liga Champions akhir pekan ini.
Seperti dilansir Associated Press, UEFA tak hanya menunjuk pria 38 tahun itu sebagai wasit di partai puncak besok. Badan tertinggi sepakbola Eropa itu juga menunjuk kompatriot Webb yaitu Michael Mullarkey dan Darren Cann sebagai dua hakim garis di sisi lapangan Santiago Bernabeu.
Bagi Webb yang merupakan salah satu wasit senior di Liga Inggris Madrid 2010 adalah pengalaman pertamanya menjadi wasit di partai puncak sebuah kompetisi Eropa. Webb yang mantan polisi itu menjadi wasit resmi FIFA pada 2005.
Laga internasional pertamanya adalah friendly Irlandia Utara versus Portugal di November 2005. Turnamen antar negara yang pernah diikutinya adalah Piala Eropa 2008 dan Piala Konfederasi 2009.
Webb bersama Mullarkey dan Cann akan melakoni pengalaman pertamanya menjadi wasit Piala Dunia di Afrika Selatan 2010 bulan depan.
Inter sendiri musim ini pernah dipimpin oleh Webb pada pertandingan mereka di Leg I perempatfinal kontra CSKA Moskow 31 Maret yang berakhir 1-0 untuk Nerazzurri. Akankah kali ini Webb bertuah lagi untuk mereka?
Jika Inter Milan selalu kandas dalam dua final terakhir yang pernah mereka lakoni, tak demikian dengan Bayern Munich. Die Roten punya catatan yang lebih bagus ketimbang La Beneamata.
Dua final terakhir yang dilakoni Inter terjadi di tahun 1967 dan 1972. Dalam dua kesempatan itu, Nerazzurri selalu kalah. Yang pertama takluk 1-2 dari Glasgow Celtic, sementara yang berikutnya kalah 0-2 dari Ajax Amsterdam.
Tak demikian halnya, dengan Bayern. Dari dua kesempatan terakhir tampil di final, satu di antaranya berhasil mereka menangi, yakni pada final di tahun 2001.
Kala itu, dalam laga yang dihelat di Stadion San Siro, Bayern yang tampil menghadapi Valencia tertinggal lebih dulu ketika laga baru berjalan tiga menit. Wasit Dick Jol memberikan hadiah penalti untuk Los Ches dan Gaizka Mendieta yang menjadi eksekutornya tak membuang percuma kesempatan ini.
Bayern baru bisa membalas di babak kedua, tepatnya di menit 50, dan juga melalui tendangan penalti. Kapten Bayern, Stefan Effenberg, dengan tenang berhasil menaklukkan kiper Santiago Canizares untuk mengubah skor menjadi 1-1.
Uniknya, pertandingan ini juga harus diakhiri dengan adu penalti. Kedua tim sama-sama memiliki enam kali kesempatan menendang. Ada dua pemain yang gagakl mengeksekusi tendangan dari kubu Bayern, sementara tiga dari kubu Valencia.
Dua pemain dari Bayern yang gagal adalah Paulo Sergio dan Patrik Andersson. Sementara dari Valencia adalah Zlatko Zahovic, Amedeo Carboni dan Mauricio Pellegrino. Kegagalan dari nama yang disebut terakhir membuat Bayern akhirnya menang dengan skor 5-4.
Bagaimana dengan final yang satu lagi? Itu terjadi di "final legendaris" di tahun 1999. Legendaris untuk kubu Manchester United yang kala itu menaklukkan pasukan Bavaria dengan skor 2-1.
Cerita final tersebut sudah sering dituturkan: dua gol Teddy Sheringham dan Ole Gunnar Solskjaer di penghujung babak kedua meruntuhkan Bayern. Gol Mario Basler di babak awal babak pertama pun jadi tak berarti.